Senin, 17 Februari 2014

Komunikasi Profetik dan Hambatan Dakwah

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi antar individu melalui sistem yang biasa (lazim), baik dengan simbol-simbol, sinyal-sinyal, maupun perilaku atau tindakan. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut Komunikasi Nonverbal.
Komunikasi Profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi Kenabian Rasulullah Muhammad SAW yang sarat dengan kandungan Nilai dan Etika. Komunikasi Profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.
"Problem-Problem Dakwah" disini ialah Sejumlah problem, permasalahan dan tantangan yang ada, terjadi dan dihadapi oleh para pendakwah Islam, dan yang menjadi hambatan-hambatan serius di jalan dakwah mereka menuju tujuan-tujuan yang harus dicapai.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Proses Komunikasi?
2.      Bagaimana Asal-usul Komunikasi Profetik?
3.      Apa yang dimaksud dengan Komunikasi Profetik dan Konsekuensinya?
4.      Sebutkan dan Jelaskan tentang Hambatan-hambatan Dakwah!


C.     Tujuan Masalah
1.      Memahami Proses Komunikasi.
2.      Mengetahui tentang Asal-usul Komunikasi Profetik.
3.      Memahami Arti Komunikasi Profetik dan bagaimana Konsekuensinya.
4.      Mengetahui apa saja Hambatan-hambatan Dakwah.


D.     Manfaat
            Makalah ini dibuat sebagai wujud Apresiasi terhadap Komukasi dan cara penggunaannya agar kita mengetahui tentang asal-usul Komunikasi dan hambatan-hambatan Dakwah












BAB II
PEMBAHASAN
      I.            PROSES KOMUNIKASI
A.   Pengertian Komunikasi
              Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi antar individu melalui sistem yang biasa (lazim), baik dengan simbol-simbol, sinyal-sinyal, maupun perilaku atau tindakan. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal.
B.   Komponen Komunikasi
              Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut Laswell komponen-komponen komunikasi adalah:
Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.
Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain.
Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara.
Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain
Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya.
Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana komunikasi itu akan dijalankan ("Protokol")
              Dari berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model paling utama, serta akan dibicarakan pendekatan yang mendasarinya dan bagaimana komunikasi dikonseptualisasikan dalam perkembangannya.
C.   Proses Komunikasi
              Sebagai suatu proses, komunikasi mempunyai persamaan dengan bagaimana seseorang mengekspresikan perasaan, hal-hal yang berlawanan (kontradiktif), yang sama (selaras, serasi), serta meliputi proses menulis, mendengarkan, dan mempertukarkan informasi.
              Menurut Bovee dan Thill, proses komunikasi terdiri atas enam tahap, yaitu:
1.      Pengirim mempunyai suatu idea tau gagasan.
2.      Pengirim mengubah ide menjadi suatu pesan.
3.      Pengirim menyampaikan pesan.
4.      Penerima menerima pesan.
5.      Penerima menafsirkan pesan.
6.      Penerima memberi tanggapan dan mengirim umpan balik kepada pengirim.
              Proses komunikasi dapat terjadi apabila ada interaksi antar manusia dan ada penyampaian pesan untuk mewujudkan motif komunikasi.

Tahapan proses komunikasi adalah sebagai berikut :
1.      Penginterpretasian.
2.      Penyandian.
3.      Pengiriman.
4.      Perjalanan.
5.      Penerimaan.
6.      Penyandian balik.
7.      Penginterpretasian.
Penginterpretasian
              Hal yang diinterpretasikan adalah motif komunikasi, terjadi dalam diri komunikator. Artinya, proses komunikasi tahap pertama bermula sejak motif komunikasi muncul hingga akal budi komunikator berhasil menginterpretasikan apa yang ia pikir dan rasakan ke dalam pesan (masih abstrak). Proses penerjemahan motif komunikasi ke dalam pesan disebut interpreting.
              Tahap ini masih ada dalam komunikator dari pesan yang bersifat abstrak berhasil diwujudkan oleh akal budi manusia ke dalam lambang komunikasi. Tahap ini disebut encoding, akal budi manusia berfungsi sebagai encorder, alat penyandi: merubah pesan abstrak menjadi konkret.
Proses ini terjadi ketika komunikator melakukan tindakan komunikasi, mengirim lambang komunikasi dengan peralatan jasmaniah yang disebut transmitter, alat pengirim pesan.
Tahapan ini terjadi antara komunikator dan komunikan, sejak pesan dikirim hingga pesan diterima oleh komunikan.
Penerimaan
Tahapan ini ditandai dengan diterimanya lambang komunikasi melalui Peralatan Jasmaniah komunikan.
Tahap ini terjadi pada diri komunikan sejak lambang komunikasi diterima melalui peralatan yang berfungsi sebagai receiver hingga akal budinya berhasil menguraikannya (decoding).
Tahap ini terjadi pada komunikan, sejak lambang komunikasi berhasil diurai kan dalam bentuk pesan.
D.   Perspektif Proses Komunikasi
Proses komunikasi dapat dilihat dari beberapa perspektif :
1.      Perspektif psikologis.
2.      Perspektif Psikologis
1.     Perspektif mekanis.
Perspektif ini merupakan tahapan komunikator pada proses encoding, kemudian hasil encoding ditransmisikan kepada komunikan sehingga terjadi komunikasi interpersonal.
2.     Perspektif Mekanis
Perspektif ini merupakan tahapan disaat komunikator mentransfer pesan dengan bahasa verbal/non verbal.
Komunikasi ini dibedakan :
1.      Proses komunikasi primer.
2.      Proses komunikasi sekunder.
3.      Proses komunikasi linier.
4.      Proses komunikasi sirkular.
Proses komunikasi primer adalah penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan menggunakan lambang sebagai media.
Proses Komunikasi Sekunder
Merupakan penyampaian pesan dengan menggunakan alat setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal.
Proses Komunikasi Sirkular
Terjadinya feedback atau umpan balik dari komunikan ke komunikator.
E.   Munculnya Kesalahpahaman Dalam Proses Komunikasi
     Ada kecenderungan beberapa pesan tidak dapat dimengerti oleh penerima pesan dengan baik. Faktor-faktor penghambat komunikasi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat masalah utama yang mencakup antara lain:
     Masalah dalam mengembangkan pesan: mecakup munculnya keragu-raguan tentang isi pesan, kurang terbiasa dengan situasi yang ada atau masih asing dengan audiens, adanya pertentangan emosional, atau kesulitan dalam mengekspresikan idea tau gagasan.
     Masalah dalam menyampaikan pesan: komunikasi juga dapat terganggu karena munculnya masalah penyampaian pesan dari pengirim ke penerima. Masalah yang paling jelas di sini adalah faktor fisik.
     Masalah dalam menerima pesan: adanya persaingan antara penglihatan dan suara, kursi yang tidak nyaman, lampu yang kurang terang, dan konsisi lain yang mengganggu konsentrasi audiens.
Masalah dalam menafsirkan pesan: perbedaaan latar belakang, perbedaan penafsiran, dan perbedaan reaksi emosional.
F.    Memperbaiki Komunikasi
     Untuk dapat melakukan komunikasi yang efektif diperlukan beberapa hal, yaitu: (1) Persepsi; (2) Ketepatan; (3) Kredibilitas; (4) Pengendalian; (5) keharmonisan.
Kesimpulan adanya proses komunikasi:
1.      Komunikasi bersifat dinamis.
2.      Tahapan proses komunikasi bermanfaat untuk analisis.
3.      Proses komunikasi dapat terhenti setiap saat.
4.      Pesan komunikasi tidak harus diterima.
5.      Tindak komunikasi merupakan indikasi komunikasi.


   II.            ASAL USUL KOMUNIKASI PROFETIK DAN KONSEKUENSINYA
            Komunikasi Profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.
Asal-usul Komunikasi Profetik 
            Secara historis, komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak kelahiran islam sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk menjelaskan praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara trasendental, ada dua tipe utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan dan manusia. Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur bahasa yang dapat dipahami manusia. Kedua, bersifat nonverbal, yaitu menggunakan tanda-tanda alam. 
            Ayat (teks) merupakan kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi dengan manusia. Ayat (teks) disampaikan kepada manusia melalui Nabi. Dalam studi ilmu Al-Qur’an, ayat tersebut disebut dengan wahyu. Wahyu merupakan bentuk komunikasi khas antara Tuhan dan para Rasul-Nya. Komunikasi tersebut kemudian “dialih turunkan” oleh para Nabi dan Rasul dalam bentuk ayat yang tertulis, seperti yang terulang dalam kitab suci Al-Qur’an. Wahyu merupakan keinginan nyata dari kehendak Tuhan untuk berkomunikasi mellaui penyampaian berita dalam bentuk teks (ayat) kepada manusia. Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.[1]
            Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa usia komunikasi sebagai praktek pentebaran informasi sama tuanya dengan usia manusia. Bahkan sebelum manusia tercipta, komunikasi sudah terlebih dahulu ada. Hal tersebut dapat kita temui dalam kisah komunikasi antara allah SWT dengan iblis ketika menciptkana Nabi Adam sebagai manusia pertama. Inilah yang kemudian menmbulkan ambiguitas dan paradoks, jika komunikasi sudah ada sejak manusia tercipta. Rahasia dibalik konvergensi-intekoneksi keilmuan tersebut terletak pada luasnya khazanah keilmuan Allah SWT yang belum terjamah dan tersentuh oleh manusia. Masih banyak keilmuan Allah SWT tersebut yang perlu didekati dan diungkap kebenarannya. Untuk berupaya “mendekati” Allah SWT dalam mengungkapkan sebagian tabir rahasia keilmuan yang dimilik-Nya. Pendekatan ini diberi nama dengan “komunikasi Profetik”. 
            Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Pilar ilmu sosial profetik ada tiga, yaitu humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu'minu billah). Dalam buku ini diuraikan komuniksi dalam perspektif lslam, yang menekankan pentingnya komunikasi yang memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan (liberasi), dan selalu berorientasi kepada Tuhan (transendensi) melalui integrasi-interkonesi kajian ilmu komunikasi.
Konsekuensi Komunikasi Profetik 
            Konsekuensi adanya komunikasi profetik Pertama, jika melihat sejarah Orde lama, orde baru, dan reformasi sekarang, umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini seharusnya memiliki otoritas yang lebih dengan cara penyampaian hak Umat Islam ke regulasi pemerintah. Kasus-kasus yang merugikan kemurnian ajaran Islam sendiri seharusnya diatur lewat aturan yang dirancang oleh wakil rakyat yang sebagian besar mereka adalah pemeluk Islam. Ketegasan aturan agama merupakan sebuah upaya menolak penistaan agama yang membuat ajaran Agama Islam sendiri tidak jelas. Satu contoh jika terbukti bahwa Ahmadiyah bukan termasuk ajaran Islam maka perlu ada ketegasan baik dari kesepakatan Ulama dan disampaikan pemerintah bahwa memang Ahmadiyah bukan ajaran Islam. Ketegasan ini diambil agar tidak terjadi tindakan anarkisme dari sekelompok golongan karena merasa ajaran Islam dinodai dengan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Alquran dan hadist. Seperti nabi menjelaskan bahwa tidak akan mungkin umatku bersepakat secara mayoritas tentang bid’ah-bid’ah dalam agama. Andaikan benar terjadi bahwa Ahmadiyah bukan menganut ajaran Islam dengan keputusan Ulama dan penyampaian pemerintah maka jelas sudah masalah dan biarkan mereka menjalankan ritual tanpa ada tindakan anarkisme karena mereka sudah jelas bukan Islam.
            Kedua, Anarkisme agama sebenarnya memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan sebuah struktur, baik itu entitas agama, gerakan sosial, lembaga politik, ormas Islam dan kelompok-kelompok lainnya. Naluri manusia selalu memberikan apresiasi positif terhadap hal-hal yang menyuguhkan kedamaian. Nilai Profetik (kenabian) mungkin kata yang tepat untuk mewakili sebuah sikap saling menjaga, toleransi, berbicara dengan hati, ketulusan. Dengan nilai profetik inilah agama menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia akan hakikat diri sebagai seorang makhluk Tuhan. Nilai Profetik inilah yang menjadi jawaban kenapa Muhammad begitu sangat ditaati dan diikuti ajarannya. Tidak ada sedikitpun dalam sejarah manusia tentang agama yang mendahulukan anarkisme dalam interaksi masa. Bahkan tercatat dalam sejarah begitu banyaknya nabi yang sebenarnya menjadi korban dari anarkisme kaumnya karena di tolak ajaran dakwahnya. Nabi Nuh, Isa, Muhammad pernah mengalami hal demikian. Tapi yang sangat menakjubkan kesabaran para nabi menjadi magnet dakwah tersendiri bagi sebagian manusia. 
            Ketiga, Memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran agama akan lebih berdampak positif dari pada melakukan tindakan anarkisme agama. Dakwah bil hikmah wamauizhatil hasanah (Dakwah dengan hikmah dan suri tauladan yang baik) gambaran yang paling tepat bagi agama apapun. Walaupun nabi Muhammad pernah ditolak kaum taif namun mereka menyadari bahwa Muhammadlah satu-satunya manusia saat itu yang dapat dipercaya hingga dijuluki Al-amin, Muhammad adalah seorang yang jujur, selalu menyambung tali silaturahmi. Tidak ada satu orangpun yang meragukan kebenaran walau mereka telah melempari Muhammad dengan batu saat memberi ajakan kepada Islam. Lalu yang terjadi sekarang umat sudah berbeda jauh. Beberepa sekelompok ormas Islam sangat miris dengan mengedepankan anarkisme. Upaya melakukan nilai profetik telah berubah menjadi kebrutalan yang justru tidak membuat manusia simpati terhadap ajaran Islam. Akibat ulah beberapa kelompok ini yang nantinya merugikan agama dalam membangun rahmatan lil alamin. Dan jangan heran jika nantinya isu tentang terorisme terhadap islam tidak kunjung usai karena memang ada sebagian dari kita yang selalu meneror tanpa memberikan kepemahaman profetik. 
            Keempat, perlu adanya sebuah konstruksi dalam kepemimpinan umat Islam. Ini sekaligus menjadi jawaban kenapa Kepemimpinan sangat penting bagi Islam. Dengan pemimpin ini Islam akan mengembalikan kejayaan masa lampau dengan menyuguhkan masyarakat berperadaban yang menjadi kiblat dunia di masa lalu di mana istilah menyebut masyarakat madani (civil society). Kepemimpinan dalam Islam perlu diselesaikan dengan cara bersama antara umat Islam yang dijembatani Ormas Islam, Lembaga Agama, NGO Islam, Organisasi kepemudaan Islam dan lainnya. Konstruksi Kepemimpinan ini dibentuk untuk memberikan dasar-dasar pemahaman arti pentingnya nilai profetik yang diajarkan para Nabi karena memang agama bukan paksaan, sekaligus menjadi puncak regulasi dalam menjaga tatanan moral agama sehingga tidak terjadi hal-hal yang membuat orang menjadi benci dengan agama. Sebagaimana filosofi yang para Nabi gunakan dalam interaksi bagaikan pohon mangga yang telus dilempari dengan kayu dan batu tapi pohon selalu membalasnya dengan menjatuhkan buah mangga yang manis. Inilah garis besar Nilai Profetik yang disebut dalam Al-quran Id’fak bilatihiya ahsan (menolak kejahatan dengan kebaikan). Pemimpin harus mampu menuntaskan salah urus negara yang telah terjadi agar klaim kebenaran tidak harus dilakukan dengan kekerasan tapi dengan pemahaman.[2]

 III.          HAMBATAN-HAMBATAN DAKWAH
(مشكلات الدعوة)
  • Mafhum (pengertian): Yang dimaksud dengan istilah "Hambatan-hambatan Dakwah" disini ialah: Sejumlah problem, permasalahan dan tantangan yang ada, terjadi dan dihadapi oleh para pendakwah Islam, dan yang menjadi hambatan-hambatan serius di jalan dakwah mereka menuju tujuan-tujuan yang harus dicapai.
  • Hambatan-hambatan dakwah tersebut mencakup dan meliputi dua macam. Pertama, problem-problem dakwah internal (مشكلات الدعوة الداخلية), yakni problem-problem, permasalahan-permasalahan, dan hambatan-hambatan dakwah yang bersumber dan berasal dari lingkup internal kaum muslimin sendiri. Dan kedua, problem-problem dakwah eksternal (مشكلات الدعوة الخارجية), yakni problem-problem, hambatan-hambatan, dan tantangan-tantangan dakwah yang bersumber dan berasal dari berbagai kalangan dan pihak ummat manusia di luar lingkup kaum muslimin.
  • Adanya problem, permasalahan, hambatan, tantangan, dan semacamnya, baik internal maupun eksternal, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tabiat jalan perjuangan dakwah. Karena itu memang telah menjadi salah satu sunnatullah bagi setiap dakwah kebenaran. Sehingga sepanjang sejarah, setiap pembawa risalah dakwah kebenaran, baik dari kalangan nabi dan rasul 'alaihimus-salam maupun dari kalangan para pengikut dan pelanjut perjuangan mereka, pastilah selalu menemui dan menghadapi bermacam ragam problem, persoalan, hambatan dan tantangan yang menghambat dan menghadang jalan perjuangan dakwahnya.
  • Oleh karenanya, mengenal, memahami, dan memperhatikan Hambatan-hambatan dakwah dengan kedua macam dan sisinya (internal dan eksternal) merupakan bagian dari cakupan dan tuntutan fiqih dakwah yang sangat penting. Seperti seseorang yang akan atau sedang menempuh sebuah perjalanan menuju suatu tujuan, dimana ia mesti mengenal dengan cermat dan mengantisipasi dengan baik segala problem, persoalan, hambatan, tantangan dan semacamnya yang mungkin terjadi, ditemui dan dihadapi dalam perjalanannya itu. Karena jika tidak, maka perjalanannya akan terhambat atau bahkan terhadang sama sekali sehingga ia tidak bisa sampai ke tujuan. Maka demikian pula dengan seorang dai yang sedang menempuh perjalanan dakwah yang sangat panjang. Iapun mesti mengenali, memahami dan menguasai secara memadai setiap problem, permasalahan, hambatan, tantangan, dan semacamnya, yang mungkin terjadi dan bisa menghambat, menghalangi dan menghadangnya di jalan dakwah. Tujuannya adalah agar ia bisa menyiapkan diri sejak awal, mengantisipasi secara dini, dan selalu berupaya keras untuk mencari solusi-solusi yang diperlukan. Karena jika tidak, maka akan sulitlah baginya untuk bisa mencapai tujuan-tujuan besar dakwah yang dicita-citakannya.
  • Pada prinsip dan dasarnya, kedua macam dan jenis Hambatan-hambatan dakwah di atas, yakni internal dan eksternal, haruslah sama-sama mendapat perhatian dari para pegiat dan aktivis dakwah. Namun demikian fokus dan prioritas haruslah tetap lebih diarahkan kepada perhatian dan upaya-upaya penanganan, penyelesaian dan pencarian solusi bagi problem-problem internal daripada problem-problem eksternal. Karena penyelesaian problem internal itu sendiri sebenarnya merupakan bagian langkah terpenting dari penyelesaian problem eksternal. Disamping itu, dan bahkan sebelum itu, arahan Al-Qur'an sendiri sangat menekankan hal itu. Perhatikanlah, misalnya, firman-firman Allah (yang artinya) berikut ini:
"Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS. Ali 'Imraan: 165).
"Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi" (QS. An-Nisaa' [4]: 79).
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS. Asy-Syuuraa [42]: 30).
  • Problem-problem, hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan dakwah yang bersifat eksternal tentu saja banyak dan beragam sekali, namun secara umum bisa kita ilustrasikan dan ringkaskan dalam empat poin di bawah ini:
    1. Berupa makar yang terus-menerus dan bertubi-tubi dari musuh-musuh Islam dan kaum muslimin (lihat: QS.Al-Anfaal [8]: 30; QS. Ar-Ra'd [13]: 42; QS. Ibrahim [14]: 46; QS. Saba' [34]: 33; QS. Ath-Thaariq [86]: 15-17; Dan lain-lain).
    2. Kerja sama mereka dalam membuat dan melaksanakan konspirasi terhadap Islam, dakwah Islam dan kaum muslimin (QS. Al-Anfaal [8]: 73; QS. An-Naml [27]: 48-53).
    3. Keragaman cara mereka dalam dalam upaya-upaya menghambat, menghadang dan menghentikan setiap laju dakwah Islam.
    4. Kekuatan, kecanggihan dan kemodernan sarana dan prasarana yang mereka pakai dan gunakan dalam membuat dan melaksanakan makar dan konspirasi mereka terhadap Islam, dakwah, pergerakan dan kaum muslimin.
  • Sementara itu untuk menghadapi semua problem, tantangan dan makar dari luar tersebut, Al-Qur'an memberikan dua kata kunci utama, yaitu: taqwa dan sabar. Meskipun di tataran aplikasi dan implementasinya, tentu saja dibutuhkan penjabaran yang panjang. Perhatikan misalnya firman-firman Allah (yang artinya) berikut ini:
"Dan jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan mendatangkan kemudharatan sedikitpun kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan" (QS. Ali 'Imraan: 120).
"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab) sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Dan jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan" (QS. Ali 'Imraan [3]: 186).
Dan setelah memaparkan berbagai ujian dan cobaan yang dialami Nabi Yusuf 'alaihis-salaam, Allah-pun berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik" (QS. Yusuf [12]: 90).
  • Sedangkan Hambatan-hambatan internal tentu juga sangat banyak, beragam dan bertingkat-tingkat, yang bisa kita klasifikasikan ke dalam lima kelompok dan kategori. Pertama, problem-problem, permasalahan-permasalahan, dan hambatan-hambatan dakwah internal yang bersumber dan berasal dari kondisi internal diri setiap dai sendiri. Kedua, yang bersumber dan berasal dari kondisi internal setiap kelompok, golongan, organisasi, jamaah, dan gerakan dakwah yang ada di tubuh kaum muslimin. Ketiga, yang bersumber dan berasal dari kondisi internal kalangan para dai dan jamaah dakwah secara umum. Keempat, yang bersumber dan berasal dari kondisi internal ummat Islam Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Dan kelima, yang bersumber dan berasal dari kondisi internal kaum muslimin secara keseluruhan.
  • Dan yang harus dilakukan terhadap Hambatan-hambatan internal tersebut secara umum meliputi minimal tiga langkah. Pertama, dengan mengenali dan memahami setiap problem internal dengan benar, tepat dan proporsional. Kedua, mengklasifikasikannya sesuai dengan kategori dan peringkat serta tingkat prioritasnya. Ketiga, mencarikan solusi dan penyelesaian dengan mendahulukan dan mengutamakan yang lebih penting dan urgen berdasarkan urutan tingkat prioritasnya.
  • Andaipun tidak atau belum mampu menyelesaikan suatu problem dan permasalahan tertentu, namun setidaknya kita mesti memiliki pemahaman dan persepsi yang jelas, serta penyikapan yang benar, tepat dan proporsional terhadapnya. Jadi minimal tidak bingung, lebih-lebih tidak malah salah persepsi dan salah sikap.
  • Selanjutnya berikut ini sekadar contoh beberapa problem internal itu:
    1. Problem: Kelemahan, kekurangan dan kesalahan yang ada dalam diri sang dai atau daiyah, baik pada ilmu dan pemahaman, sifat dan karakter, amal dan praktik, metode dan cara dakwah tertentu, maupun pada kemampuan-kemampuan dan potensi-potensi lain yang memiliki pengaruh penting dalam aktivitas dakwah yang diperankannya.
Solusi: 1. Masing-masing harus mengenali dan menyadari sisi-sisi kelemahan dan kekurangan dalam dirinya; 2. Berupaya optimal semampunya untuk menutup kelemahan dan kekurangan itu; 3. Membatasi aktivitas dakwah dalam bidang dan aspek yang sesuai dengan kemampuan dan kelebihan dirinya, serta di saat yang sama menghindar secara hikmah dari bidang dan aspek dakwah lain, dimana ia lemah dan kurang kemampuan disitu.
    1. Problem: Masalah penyikapan terhadap fenomena perbedaan dan perselisihan madzhab fiqih.
Solusi: Secara umum memahami dan berkomitmen dengan kaidah-kaidah fiqhul ikhtilaf (lihat: materi fiqhul ikhtilaf). Ringkasan sikap sebagai berikut: 1. Memahami, menerima dan mengakui perbedaan madzhab fiqih sebagai sebuah keniscayaan yang ditolerir; 2. Memilih madzhab dan pendapat fiqih dalam suatu masalah secara prosedural sesuai dengan kadar dan tingkap kemampuan yang dimiliki; 3. Dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, masing-masing bisa dan berhak mempraktikkan pendapat atau madzhab pilihannya; 4. Meskipun lebih afdhal jika untuk praktik pribadi, ia mengamalkan pendapat atau madzhab ihtiyath (yang lebih berhati-hati), demi menghindari perselisihan; 5. Ketika berhubungan dengan orang lain dan dalam masalah-masalah yang bersifat kejamaahan, kemasyarakatan dan keummatan secara umum, maka yang harus ditonjolkan adalah sikap toleransi dan kompromi.  
    1. Problem: Masalah penyikapan terhadap fenomena keragaman kelompok, jamaah dan gerakan dakwah dalam lingkup manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah..
Solusi: Secara umum menyikapi fenomena keragaman kelompok dan jamaah dakwah, secara hampir sama dengan fenomena perbedaan madzhab fiqih (lihat: materi fiqhul jama'at wal-harakat). Ringkasan sikap sebagai berikut: 1. Memahami, menerima dan mengakui fenomena dan realita keragaman sebagai sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan; 2. Memilih dan bergabung dengan salah satu kelompok, organisasi atau jamaah dakwah yang ada, yang dianggap atau dinilai atau diyakini lebih atau paling baik; 3. Masing-masing fokus pada upaya-upaya riil dan praktis, dengan semangat fastabiqul-khairaat, untuk membuktikan sebagai yang lebih atau yang paling baik!; 4. Minimal masih mau menyisakan pengakuan, husnudz-dzan dan toleransi bagi yang lain; 5. Atau sikap adilnya sebagai berikut: Masing-masing mesti menyikapi dan memperlakukan orang lain, kelompok lain atau jamaah lain, sebagaimana ia, kelompok dan jamaahnya ingin disikapi dan diperlakukan. Dan selanjutnya tidak menyikapi dan memperlakukan orang, kelompok atau jamaah lain, dengan sikap dan perlakuan, yang tidak ia inginkan bagi dirinya, kelompoknya atau jamaahnya!   
    1. Problem: Masalah penyikapan terhadap fenomena firqah-firqah sempalan.
Solusi: Secara umum memahami dan menyikapi firqah-firqah sempalan sesuai manhaj, kaidah dan prinsip baku Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Ringkasan sikap sebagai berikut: 1. Membekali diri dengan ilmu standar minimal untuk bisa dan mampu membedakan antara fenomena perbedaan madzhab-madzhab fiqih dan keragaman jamaah-jamaah dakwah yang ditolerir, dan antara fenomena perselisihan dan perpecahan firqah-firqah sempalan dan sesat yang tertolak dan tidak ditolerir; 2. Waspada dan hati-hati agar tidak sampai terpengaruh dan terjerumus ke dalam penyimpangan dan kesesatan firqah sempalan; 3.Merujuk, mengacu dan berpegang pada sikap, pendapat dan fatwa para ulama ahli yang berkompeten, misalnya fatwa dan sikap resmi MUI; 4. Tidak bingung, tidak terpengaruh dan tidak terbawa arus  fenomena pro-kontra berbagai pihak yang tidak berkompeten dalam menyikapi firqah-firqah sempalan; 5. Meyakini kesesatan firqah-firqah sempalan dan menunjukkan sikap baraa' (membenci dan menjauhi) secara ideologis  dan akidah; 6. Tapi di saat yang sama tidak melakukan sikap dan tindak apapun yang bersifat anarkis terhadap firqah sempalan manapun. Melainkan justru lebih menampakkan dan mengedepankan sikap lahiriah yang berorientasi dakwah. Sebagaimana kita wajib memiliki sikap baraa' secara akidah terhadap setiap orang kafir, namun di saat yang sama harus pula lebih mengedepankan sikap lahiriah yang berorientasi dakwah terhadapnya; 7. Lebih menfokuskan dan memprioritaskan upaya-upaya pembekalan dan pembentengan ummat dengan akidah yang haq dan ilmu pemahaman agama yang murni, agar tidak mudah terpengaruh pemahaman, pemikiran dan ideologi yang sesat atau menyimpang.
    1. Problem: Problem berdakwah di tengah-tengah bi-ah (lingkungan) yang sangat tidak islami dan sangat tidak kondusif. Dimana seringkali nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang didakwahkan oleh sang dai atau daiah dimentahkan oleh pengaruh negatif bi-ah dimana obyek dakwah berada dan tinggal.
Solusi: 1. Dakwah 'aammah (seperti tabligh dan semacamnya) harus berorientasi mempengaruhi dan membentuk opini umum masyarakat yang akan mengarah pada perbaikan bi-ah; 2. Harus ada ta'awun (kerja sama) tertentu, atau setidaknya tafahum (kesefahaman) tertentu di antara para dai dan daiyah ke arah terwujudnya tujuan tersebut; 3. Dakwah harus berorientasi dan bersifat tarbiyah dan pembinaan secara intensif dan komprehensif, dan tidak sekadar temporal dan parsial saja; 4. Para dai dan daiyah harus selalu berupaya untuk mengadakan atau memilihkan miniatur-miniatur bi-ah yang "islami" atau kondusif bagi para mad'u (obyek dakwah); 5. Materi-materi dakwah jangan hanya berisikan norma-norma idealistis yang bersifat teoritis belaka, namun juga harus dilengkapi dengan arahan dan pembekalan aspek aplikasi dan implementasinya di tengah-tengah bi-ah yang tidak islami dan tidak kondusif seperti saat ini.
  1. Dan problem-problem dakwah internal lain yang tentu saja sangat banyak dan beragam sekali, namun tentu tidak bisa disebutkan semuanya disini. Semoga beberapa yang telah disebutkan di atas cukup sebagai contoh pengingat bagi problem-problem yang lainnya, dan sekaligus penyemangat bagi pencarian solusi-solusi yang benar untuknya. Wallahu a'lam.















BAB III
PENUTUP 
A.   Kesimpulan 
Secara historis, komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak kelahiran islam sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk menjelaskan praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara trasendental, ada dua tipe utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan dan manusia. Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur bahasa yang dapat dipahami manusia. Kedua, bersifat nonverbal, yaitu menggunakan tanda-tanda alam. Dalam hal inilah, komunikasi profetik diajukan dalam kerangka baru praktik ilmu komunikasi Islam yang memadukan konsepnya dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnyaKonsekuensi komunikas profetik, yang pertama, tidak adanya bid’ah-bid’ah yang dilakukan karena Nabi tidak pernah menyeru untuk melakukan hal tersebut. Kedua, adanya sifat toleransi, menghargai dan berbicara dengan hati yang tulus. Ketiga: berusaha untuk melakukan suatu kebenaran yang pernah dilakukan Nabi. Keempat: menolak kejahatan dengan kebaikan. 
Hambatan-hambatan dakwah dengan kedua macam dan sisinya (internal dan eksternal) merupakan bagian dari cakupan dan tuntutan fiqih dakwah yang sangat penting. Seperti seseorang yang akan atau sedang menempuh sebuah perjalanan menuju suatu tujuan, dimana ia mesti mengenal dengan cermat dan mengantisipasi dengan baik segala problem, persoalan, hambatan, tantangan dan semacamnya yang mungkin terjadi, ditemui dan dihadapi dalam perjalanannya itu. Karena jika tidak, maka perjalanannya akan terhambat atau bahkan terhadang sama sekali sehingga ia tidak bisa sampai ke tujuan. Maka demikian pula dengan seorang dai yang sedang menempuh perjalanan dakwah yang sangat panjang. Iapun mesti mengenali, memahami dan menguasai secara memadai setiap problem, permasalahan, hambatan, tantangan, dan semacamnya, yang mungkin terjadi dan bisa menghambat, menghalangi dan menghadangnya di jalan dakwah.






[1] Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), hal 113-115

[2] Mokhamad Mahfud, Komunikasi Lintas Agama, (persepektif Filsafat Ilmu Etika Profetik), searching web.