BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Komunikasi adalah suatu proses
pertukaran informasi antar individu melalui sistem yang biasa (lazim), baik
dengan simbol-simbol, sinyal-sinyal, maupun perilaku atau tindakan. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau
verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa
verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan
dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya
tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut
Komunikasi Nonverbal.
Komunikasi Profetik merupakan istilah baru dalam khazanah
ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi Kenabian Rasulullah Muhammad
SAW yang sarat dengan kandungan Nilai dan Etika. Komunikasi Profetik merupakan
kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang
terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang
sebelumnya.
"Problem-Problem Dakwah" disini ialah Sejumlah
problem, permasalahan dan tantangan yang ada, terjadi dan dihadapi oleh para
pendakwah Islam, dan yang menjadi hambatan-hambatan serius di jalan dakwah
mereka menuju tujuan-tujuan yang harus dicapai.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Proses Komunikasi?
2.
Bagaimana Asal-usul Komunikasi Profetik?
3.
Apa yang dimaksud dengan Komunikasi Profetik dan
Konsekuensinya?
4.
Sebutkan dan Jelaskan tentang Hambatan-hambatan Dakwah!
C.
Tujuan
Masalah
1.
Memahami Proses Komunikasi.
2.
Mengetahui tentang Asal-usul Komunikasi Profetik.
3.
Memahami Arti Komunikasi Profetik dan bagaimana
Konsekuensinya.
4.
Mengetahui apa saja Hambatan-hambatan Dakwah.
D.
Manfaat
Makalah ini dibuat sebagai wujud Apresiasi terhadap Komukasi
dan cara penggunaannya agar kita mengetahui tentang asal-usul Komunikasi dan hambatan-hambatan Dakwah
BAB II
PEMBAHASAN
I.
PROSES KOMUNIKASI
A. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi
antar individu melalui sistem yang biasa (lazim), baik dengan simbol-simbol,
sinyal-sinyal, maupun perilaku atau tindakan. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau
verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa
verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan
dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya
tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut
komunikasi nonverbal.
B.
Komponen Komunikasi
Komponen
komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung
dengan baik. Menurut Laswell komponen-komponen komunikasi adalah:
Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak
yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.
Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan
disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain.
Saluran (channel) adalah media dimana pesan
disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka)
saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara.
Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak
yang menerima pesan dari pihak lain
Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari
penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya.
Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang
bagaimana komunikasi itu akan dijalankan ("Protokol")
Dari
berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model
paling utama, serta akan dibicarakan pendekatan yang mendasarinya dan bagaimana
komunikasi dikonseptualisasikan dalam perkembangannya.
C. Proses Komunikasi
Sebagai suatu proses, komunikasi mempunyai persamaan dengan
bagaimana seseorang mengekspresikan perasaan, hal-hal yang berlawanan
(kontradiktif), yang sama (selaras, serasi), serta meliputi proses menulis,
mendengarkan, dan mempertukarkan informasi.
Menurut
Bovee dan Thill, proses komunikasi terdiri atas enam tahap, yaitu:
1.
Pengirim mempunyai suatu idea tau gagasan.
2.
Pengirim mengubah ide menjadi suatu pesan.
3.
Pengirim menyampaikan pesan.
4.
Penerima menerima pesan.
5.
Penerima menafsirkan pesan.
6.
Penerima memberi tanggapan dan mengirim umpan balik kepada pengirim.
Proses komunikasi dapat terjadi apabila ada interaksi
antar manusia
dan ada penyampaian pesan
untuk mewujudkan motif komunikasi.
5.
Penerimaan.
Penginterpretasian
Hal
yang diinterpretasikan adalah motif komunikasi, terjadi dalam diri komunikator.
Artinya, proses komunikasi tahap pertama bermula sejak motif komunikasi muncul hingga akal budi komunikator
berhasil menginterpretasikan apa yang ia pikir dan rasakan ke dalam pesan (masih abstrak). Proses penerjemahan motif komunikasi ke dalam pesan disebut interpreting.
Tahap ini masih ada dalam komunikator
dari pesan
yang bersifat abstrak berhasil diwujudkan oleh akal budi manusia
ke dalam lambang komunikasi. Tahap ini disebut encoding, akal budi manusia
berfungsi sebagai encorder, alat penyandi: merubah pesan abstrak menjadi
konkret.
Proses ini terjadi ketika komunikator
melakukan tindakan komunikasi, mengirim lambang komunikasi dengan peralatan jasmaniah yang disebut transmitter,
alat pengirim pesan.
Tahapan ini terjadi antara komunikator
dan komunikan,
sejak pesan dikirim hingga pesan diterima oleh komunikan.
Penerimaan
Tahapan ini ditandai dengan diterimanya lambang komunikasi melalui Peralatan Jasmaniah komunikan.
Tahap ini terjadi pada diri komunikan
sejak lambang komunikasi diterima melalui peralatan yang berfungsi sebagai receiver
hingga akal budinya berhasil menguraikannya (decoding).
Tahap ini terjadi pada komunikan,
sejak lambang komunikasi berhasil diurai kan dalam bentuk pesan.
D.
Perspektif Proses
Komunikasi
1. Perspektif mekanis.
Perspektif
ini merupakan tahapan komunikator pada proses encoding,
kemudian hasil encoding ditransmisikan kepada komunikan
sehingga terjadi komunikasi interpersonal.
2.
Perspektif Mekanis
Perspektif ini merupakan tahapan
disaat komunikator
mentransfer pesan
dengan bahasa verbal/non verbal.
Komunikasi ini dibedakan :
Proses komunikasi primer adalah penyampaian pikiran
oleh komunikator
kepada komunikan
menggunakan lambang sebagai media.
Penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikan
sebagai titik terminal.
E.
Munculnya Kesalahpahaman
Dalam Proses Komunikasi
Ada
kecenderungan beberapa pesan tidak dapat dimengerti oleh penerima pesan dengan
baik. Faktor-faktor penghambat komunikasi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam
empat masalah utama yang mencakup antara lain:
Masalah dalam mengembangkan
pesan: mecakup munculnya keragu-raguan tentang isi pesan, kurang terbiasa
dengan situasi yang ada atau masih asing dengan audiens, adanya pertentangan
emosional, atau kesulitan dalam mengekspresikan idea tau gagasan.
Masalah
dalam menyampaikan pesan: komunikasi juga dapat terganggu karena munculnya
masalah penyampaian pesan dari pengirim ke penerima. Masalah yang paling jelas
di sini adalah faktor fisik.
Masalah dalam menerima pesan:
adanya persaingan antara penglihatan dan suara, kursi yang tidak nyaman, lampu
yang kurang terang, dan konsisi lain yang mengganggu konsentrasi audiens.
Masalah dalam menafsirkan pesan: perbedaaan latar belakang, perbedaan
penafsiran, dan perbedaan reaksi emosional.
F.
Memperbaiki Komunikasi
Untuk dapat melakukan komunikasi yang
efektif diperlukan beberapa hal, yaitu: (1) Persepsi; (2) Ketepatan; (3)
Kredibilitas; (4) Pengendalian; (5) keharmonisan.
II.
ASAL USUL KOMUNIKASI
PROFETIK DAN KONSEKUENSINYA
Komunikasi Profetik merupakan istilah baru dalam
khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah
Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik
merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang
terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang
sebelumnya.
Asal-usul Komunikasi
Profetik
Secara historis,
komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak kelahiran islam
sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk menjelaskan
praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara trasendental, ada dua tipe
utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan dan manusia. Pertama, bersifat
linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur bahasa yang dapat dipahami manusia.
Kedua, bersifat nonverbal, yaitu menggunakan tanda-tanda alam.
Ayat (teks)
merupakan kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi dengan manusia. Ayat (teks)
disampaikan kepada manusia melalui Nabi. Dalam studi ilmu Al-Qur’an, ayat
tersebut disebut dengan wahyu. Wahyu merupakan bentuk komunikasi khas antara
Tuhan dan para Rasul-Nya. Komunikasi tersebut kemudian “dialih turunkan” oleh
para Nabi dan Rasul dalam bentuk ayat yang tertulis, seperti yang terulang
dalam kitab suci Al-Qur’an. Wahyu merupakan keinginan nyata dari kehendak Tuhan
untuk berkomunikasi mellaui penyampaian berita dalam bentuk teks (ayat) kepada
manusia. Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu
komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw
yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan
kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang
terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang
sebelumnya.[1]
Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa
usia komunikasi sebagai praktek pentebaran informasi sama tuanya dengan usia
manusia. Bahkan sebelum manusia tercipta, komunikasi sudah terlebih dahulu ada.
Hal tersebut dapat kita temui dalam kisah komunikasi antara allah SWT dengan
iblis ketika menciptkana Nabi Adam sebagai manusia pertama. Inilah yang
kemudian menmbulkan ambiguitas dan paradoks, jika komunikasi sudah ada sejak
manusia tercipta. Rahasia dibalik konvergensi-intekoneksi keilmuan tersebut
terletak pada luasnya khazanah keilmuan Allah SWT yang belum terjamah dan
tersentuh oleh manusia. Masih banyak keilmuan Allah SWT tersebut yang perlu
didekati dan diungkap kebenarannya. Untuk berupaya “mendekati” Allah SWT dalam
mengungkapkan sebagian tabir rahasia keilmuan yang dimilik-Nya. Pendekatan ini
diberi nama dengan “komunikasi Profetik”.
Komunikasi profetik merupakan
istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi
kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi
profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam
yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah
berkembang sebelumnya. Pilar ilmu sosial profetik ada tiga, yaitu humanisasi
(amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu'minu billah). Dalam
buku ini diuraikan komuniksi dalam perspektif lslam, yang menekankan pentingnya
komunikasi yang memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan (liberasi), dan
selalu berorientasi kepada Tuhan (transendensi) melalui integrasi-interkonesi
kajian ilmu komunikasi.
Konsekuensi Komunikasi Profetik
Konsekuensi
adanya komunikasi profetik Pertama, jika melihat sejarah Orde lama, orde baru,
dan reformasi sekarang, umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini seharusnya
memiliki otoritas yang lebih dengan cara penyampaian hak Umat Islam ke regulasi
pemerintah. Kasus-kasus yang merugikan kemurnian ajaran Islam sendiri
seharusnya diatur lewat aturan yang dirancang oleh wakil rakyat yang sebagian
besar mereka adalah pemeluk Islam. Ketegasan aturan agama merupakan sebuah
upaya menolak penistaan agama yang membuat ajaran Agama Islam sendiri tidak
jelas. Satu contoh jika terbukti bahwa Ahmadiyah bukan termasuk ajaran Islam
maka perlu ada ketegasan baik dari kesepakatan Ulama dan disampaikan pemerintah
bahwa memang Ahmadiyah bukan ajaran Islam. Ketegasan ini diambil agar tidak
terjadi tindakan anarkisme dari sekelompok golongan karena merasa ajaran Islam
dinodai dengan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Alquran dan hadist.
Seperti nabi menjelaskan bahwa tidak akan mungkin umatku bersepakat secara
mayoritas tentang bid’ah-bid’ah dalam agama. Andaikan benar terjadi bahwa
Ahmadiyah bukan menganut ajaran Islam dengan keputusan Ulama dan penyampaian
pemerintah maka jelas sudah masalah dan biarkan mereka menjalankan ritual tanpa
ada tindakan anarkisme karena mereka sudah jelas bukan Islam.
Kedua,
Anarkisme agama sebenarnya memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan
sebuah struktur, baik itu entitas agama, gerakan sosial, lembaga politik, ormas
Islam dan kelompok-kelompok lainnya. Naluri manusia selalu memberikan apresiasi
positif terhadap hal-hal yang menyuguhkan kedamaian. Nilai Profetik (kenabian)
mungkin kata yang tepat untuk mewakili sebuah sikap saling menjaga, toleransi,
berbicara dengan hati, ketulusan. Dengan nilai profetik inilah agama menjadi
sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia akan hakikat diri sebagai seorang
makhluk Tuhan. Nilai Profetik inilah yang menjadi jawaban kenapa Muhammad
begitu sangat ditaati dan diikuti ajarannya. Tidak ada sedikitpun dalam sejarah
manusia tentang agama yang mendahulukan anarkisme dalam interaksi masa. Bahkan
tercatat dalam sejarah begitu banyaknya nabi yang sebenarnya menjadi korban
dari anarkisme kaumnya karena di tolak ajaran dakwahnya. Nabi Nuh, Isa,
Muhammad pernah mengalami hal demikian. Tapi yang sangat menakjubkan kesabaran
para nabi menjadi magnet dakwah tersendiri bagi sebagian manusia.
Ketiga,
Memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran agama akan lebih berdampak positif
dari pada melakukan tindakan anarkisme agama. Dakwah bil hikmah wamauizhatil
hasanah (Dakwah dengan hikmah dan suri tauladan yang baik) gambaran yang paling
tepat bagi agama apapun. Walaupun nabi Muhammad pernah ditolak kaum taif namun
mereka menyadari bahwa Muhammadlah satu-satunya manusia saat itu yang dapat
dipercaya hingga dijuluki Al-amin, Muhammad adalah seorang yang jujur, selalu
menyambung tali silaturahmi. Tidak ada satu orangpun yang meragukan kebenaran
walau mereka telah melempari Muhammad dengan batu saat memberi ajakan kepada
Islam. Lalu yang terjadi sekarang umat sudah berbeda jauh. Beberepa sekelompok
ormas Islam sangat miris dengan mengedepankan anarkisme. Upaya melakukan nilai
profetik telah berubah menjadi kebrutalan yang justru tidak membuat manusia
simpati terhadap ajaran Islam. Akibat ulah beberapa kelompok ini yang nantinya
merugikan agama dalam membangun rahmatan lil alamin. Dan jangan heran jika
nantinya isu tentang terorisme terhadap islam tidak kunjung usai karena memang
ada sebagian dari kita yang selalu meneror tanpa memberikan kepemahaman
profetik.
Keempat,
perlu adanya sebuah konstruksi dalam kepemimpinan umat Islam. Ini sekaligus
menjadi jawaban kenapa Kepemimpinan sangat penting bagi Islam. Dengan pemimpin
ini Islam akan mengembalikan kejayaan masa lampau dengan menyuguhkan masyarakat
berperadaban yang menjadi kiblat dunia di masa lalu di mana istilah menyebut
masyarakat madani (civil society). Kepemimpinan dalam Islam perlu diselesaikan
dengan cara bersama antara umat Islam yang dijembatani Ormas Islam, Lembaga
Agama, NGO Islam, Organisasi kepemudaan Islam dan lainnya. Konstruksi
Kepemimpinan ini dibentuk untuk memberikan dasar-dasar pemahaman arti
pentingnya nilai profetik yang diajarkan para Nabi karena memang agama bukan
paksaan, sekaligus menjadi puncak regulasi dalam menjaga tatanan moral agama
sehingga tidak terjadi hal-hal yang membuat orang menjadi benci dengan agama.
Sebagaimana filosofi yang para Nabi gunakan dalam interaksi bagaikan pohon
mangga yang telus dilempari dengan kayu dan batu tapi pohon selalu membalasnya
dengan menjatuhkan buah mangga yang manis. Inilah garis besar Nilai Profetik
yang disebut dalam Al-quran Id’fak bilatihiya ahsan (menolak kejahatan dengan
kebaikan). Pemimpin harus mampu menuntaskan salah urus negara yang telah
terjadi agar klaim kebenaran tidak harus dilakukan dengan kekerasan tapi dengan
pemahaman.[2]
III.
HAMBATAN-HAMBATAN
DAKWAH
(مشكلات
الدعوة)
- Mafhum (pengertian): Yang dimaksud dengan istilah "Hambatan-hambatan Dakwah"
disini ialah: Sejumlah problem, permasalahan dan tantangan yang ada,
terjadi dan dihadapi oleh para pendakwah Islam, dan yang menjadi
hambatan-hambatan serius di jalan dakwah mereka menuju tujuan-tujuan yang
harus dicapai.
- Hambatan-hambatan
dakwah tersebut mencakup dan meliputi dua macam. Pertama, problem-problem
dakwah internal (مشكلات الدعوة الداخلية), yakni problem-problem,
permasalahan-permasalahan, dan hambatan-hambatan dakwah yang bersumber dan
berasal dari lingkup internal kaum muslimin sendiri. Dan kedua,
problem-problem dakwah eksternal (مشكلات الدعوة الخارجية), yakni problem-problem,
hambatan-hambatan, dan tantangan-tantangan dakwah yang bersumber dan berasal
dari berbagai kalangan dan pihak ummat manusia di luar lingkup kaum
muslimin.
- Adanya
problem, permasalahan, hambatan, tantangan, dan semacamnya, baik internal
maupun eksternal, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tabiat
jalan perjuangan dakwah. Karena itu memang telah menjadi salah satu
sunnatullah bagi setiap dakwah kebenaran. Sehingga sepanjang sejarah,
setiap pembawa risalah dakwah kebenaran, baik dari kalangan nabi dan rasul
'alaihimus-salam maupun dari kalangan para pengikut dan pelanjut perjuangan
mereka, pastilah selalu menemui dan menghadapi bermacam ragam problem,
persoalan, hambatan dan tantangan yang menghambat dan menghadang jalan
perjuangan dakwahnya.
- Oleh
karenanya, mengenal, memahami, dan memperhatikan Hambatan-hambatan dakwah
dengan kedua macam dan sisinya (internal dan eksternal) merupakan bagian
dari cakupan dan tuntutan fiqih dakwah yang sangat penting. Seperti
seseorang yang akan atau sedang menempuh sebuah perjalanan menuju suatu
tujuan, dimana ia mesti mengenal dengan cermat dan mengantisipasi dengan
baik segala problem, persoalan, hambatan, tantangan dan semacamnya yang
mungkin terjadi, ditemui dan dihadapi dalam perjalanannya itu. Karena jika
tidak, maka perjalanannya akan terhambat atau bahkan terhadang sama sekali
sehingga ia tidak bisa sampai ke tujuan. Maka demikian pula dengan seorang
dai yang sedang menempuh perjalanan dakwah yang sangat panjang. Iapun
mesti mengenali, memahami dan menguasai secara memadai setiap problem,
permasalahan, hambatan, tantangan, dan semacamnya, yang mungkin terjadi
dan bisa menghambat, menghalangi dan menghadangnya di jalan dakwah.
Tujuannya adalah agar ia bisa menyiapkan diri sejak awal, mengantisipasi
secara dini, dan selalu berupaya keras untuk mencari solusi-solusi yang
diperlukan. Karena jika tidak, maka akan sulitlah baginya untuk bisa
mencapai tujuan-tujuan besar dakwah yang dicita-citakannya.
- Pada
prinsip dan dasarnya, kedua macam dan jenis Hambatan-hambatan dakwah di
atas, yakni internal dan eksternal, haruslah sama-sama mendapat perhatian
dari para pegiat dan aktivis dakwah. Namun demikian fokus dan prioritas
haruslah tetap lebih diarahkan kepada perhatian dan upaya-upaya
penanganan, penyelesaian dan pencarian solusi bagi problem-problem
internal daripada problem-problem eksternal. Karena penyelesaian problem
internal itu sendiri sebenarnya merupakan bagian langkah terpenting dari
penyelesaian problem eksternal. Disamping itu, dan bahkan sebelum itu,
arahan Al-Qur'an sendiri sangat menekankan hal itu. Perhatikanlah,
misalnya, firman-firman Allah (yang artinya) berikut ini:
"Dan
mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah:
"Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu" (QS. Ali 'Imraan: 165).
"Apa
saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan
yang menimpamu, maka itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi
saksi" (QS. An-Nisaa' [4]: 79).
"Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS. Asy-Syuuraa
[42]: 30).
- Problem-problem,
hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan dakwah yang bersifat eksternal
tentu saja banyak dan beragam sekali, namun secara umum bisa kita
ilustrasikan dan ringkaskan dalam empat poin di bawah ini:
- Berupa makar yang terus-menerus dan bertubi-tubi dari musuh-musuh
Islam dan kaum muslimin (lihat: QS.Al-Anfaal [8]: 30; QS. Ar-Ra'd
[13]: 42; QS. Ibrahim [14]: 46; QS. Saba' [34]: 33; QS. Ath-Thaariq [86]:
15-17; Dan lain-lain).
- Kerja sama mereka dalam membuat dan melaksanakan konspirasi terhadap
Islam, dakwah Islam dan kaum muslimin (QS. Al-Anfaal [8]: 73; QS. An-Naml
[27]: 48-53).
- Keragaman cara mereka dalam dalam upaya-upaya menghambat, menghadang
dan menghentikan setiap laju dakwah Islam.
- Kekuatan, kecanggihan dan kemodernan sarana dan prasarana yang mereka
pakai dan gunakan dalam membuat dan melaksanakan makar dan konspirasi
mereka terhadap Islam, dakwah, pergerakan dan kaum muslimin.
- Sementara
itu untuk menghadapi semua problem, tantangan dan makar dari luar
tersebut, Al-Qur'an memberikan dua kata kunci utama, yaitu: taqwa dan
sabar. Meskipun di tataran aplikasi dan implementasinya, tentu saja
dibutuhkan penjabaran yang panjang. Perhatikan misalnya firman-firman
Allah (yang artinya) berikut ini:
"Dan
jika kamu bersabar dan
bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan mendatangkan kemudharatan
sedikitpun kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka
kerjakan" (QS. Ali 'Imraan: 120).
"Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu
sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab (Ahli Kitab)
sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang
banyak yang menyakitkan hati. Dan jika kamu bersabar dan bertakwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan"
(QS. Ali 'Imraan [3]: 186).
Dan
setelah memaparkan berbagai ujian dan cobaan yang dialami Nabi Yusuf 'alaihis-salaam,
Allah-pun berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya barang siapa yang
bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang berbuat baik" (QS. Yusuf [12]: 90).
- Sedangkan
Hambatan-hambatan internal tentu juga sangat banyak, beragam dan
bertingkat-tingkat, yang bisa kita klasifikasikan ke dalam lima kelompok
dan kategori. Pertama, problem-problem, permasalahan-permasalahan,
dan hambatan-hambatan dakwah internal yang bersumber dan berasal dari
kondisi internal diri setiap dai sendiri. Kedua, yang bersumber dan
berasal dari kondisi internal setiap kelompok, golongan, organisasi,
jamaah, dan gerakan dakwah yang ada di tubuh kaum muslimin. Ketiga,
yang bersumber dan berasal dari kondisi internal kalangan para dai dan
jamaah dakwah secara umum. Keempat, yang bersumber dan berasal dari
kondisi internal ummat Islam Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Dan kelima,
yang bersumber dan berasal dari kondisi internal kaum muslimin secara
keseluruhan.
- Dan yang
harus dilakukan terhadap Hambatan-hambatan internal tersebut secara umum
meliputi minimal tiga langkah. Pertama, dengan mengenali dan
memahami setiap problem internal dengan benar, tepat dan proporsional. Kedua,
mengklasifikasikannya sesuai dengan kategori dan peringkat serta tingkat
prioritasnya. Ketiga, mencarikan solusi dan penyelesaian dengan
mendahulukan dan mengutamakan yang lebih penting dan urgen berdasarkan
urutan tingkat prioritasnya.
- Andaipun
tidak atau belum mampu menyelesaikan suatu problem dan permasalahan
tertentu, namun setidaknya kita mesti memiliki pemahaman dan persepsi yang
jelas, serta penyikapan yang benar, tepat dan proporsional terhadapnya.
Jadi minimal tidak bingung, lebih-lebih tidak malah salah persepsi dan
salah sikap.
- Selanjutnya
berikut ini sekadar contoh beberapa problem internal itu:
- Problem:
Kelemahan, kekurangan dan kesalahan yang ada dalam diri sang dai atau
daiyah, baik pada ilmu dan pemahaman, sifat dan karakter, amal dan
praktik, metode dan cara dakwah tertentu, maupun pada kemampuan-kemampuan
dan potensi-potensi lain yang memiliki pengaruh penting dalam aktivitas
dakwah yang diperankannya.
Solusi: 1. Masing-masing harus mengenali
dan menyadari sisi-sisi kelemahan dan kekurangan dalam dirinya; 2.
Berupaya optimal semampunya untuk menutup kelemahan dan kekurangan itu; 3.
Membatasi aktivitas dakwah dalam bidang dan aspek yang sesuai dengan kemampuan
dan kelebihan dirinya, serta di saat yang sama menghindar secara hikmah dari
bidang dan aspek dakwah lain, dimana ia lemah dan kurang kemampuan disitu.
- Problem:
Masalah penyikapan terhadap fenomena perbedaan dan perselisihan madzhab
fiqih.
Solusi:
Secara umum memahami dan
berkomitmen dengan kaidah-kaidah fiqhul ikhtilaf (lihat: materi fiqhul
ikhtilaf). Ringkasan sikap sebagai berikut: 1. Memahami,
menerima dan mengakui perbedaan madzhab fiqih sebagai sebuah keniscayaan yang
ditolerir; 2. Memilih madzhab dan pendapat fiqih dalam
suatu masalah secara prosedural sesuai dengan kadar dan tingkap kemampuan yang
dimiliki; 3. Dalam masalah-masalah khilafiyah yang
bersifat personal individual, masing-masing bisa dan berhak mempraktikkan
pendapat atau madzhab pilihannya; 4. Meskipun lebih afdhal
jika untuk praktik pribadi, ia mengamalkan pendapat atau madzhab ihtiyath
(yang lebih berhati-hati), demi menghindari perselisihan; 5.
Ketika berhubungan dengan orang lain dan dalam masalah-masalah yang bersifat
kejamaahan, kemasyarakatan dan keummatan secara umum, maka yang harus
ditonjolkan adalah sikap toleransi dan kompromi.
- Problem:
Masalah penyikapan terhadap fenomena keragaman kelompok, jamaah dan
gerakan dakwah dalam lingkup manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah..
Solusi:
Secara umum menyikapi fenomena
keragaman kelompok dan jamaah dakwah, secara hampir sama dengan fenomena
perbedaan madzhab fiqih (lihat: materi fiqhul jama'at wal-harakat).
Ringkasan sikap sebagai berikut: 1. Memahami, menerima dan
mengakui fenomena dan realita keragaman sebagai sebuah keniscayaan yang tidak
terhindarkan; 2. Memilih dan bergabung dengan salah satu
kelompok, organisasi atau jamaah dakwah yang ada, yang dianggap atau dinilai
atau diyakini lebih atau paling baik; 3. Masing-masing
fokus pada upaya-upaya riil dan praktis, dengan semangat fastabiqul-khairaat,
untuk membuktikan sebagai yang lebih atau yang paling baik!; 4.
Minimal masih mau menyisakan pengakuan, husnudz-dzan dan toleransi bagi yang
lain; 5. Atau sikap adilnya sebagai berikut: Masing-masing
mesti menyikapi dan memperlakukan orang lain, kelompok lain atau jamaah lain,
sebagaimana ia, kelompok dan jamaahnya ingin disikapi dan diperlakukan. Dan
selanjutnya tidak menyikapi dan memperlakukan orang, kelompok atau jamaah lain,
dengan sikap dan perlakuan, yang tidak ia inginkan bagi dirinya, kelompoknya
atau jamaahnya!
- Problem: Masalah
penyikapan terhadap fenomena firqah-firqah sempalan.
Solusi:
Secara umum memahami dan
menyikapi firqah-firqah sempalan sesuai manhaj, kaidah dan prinsip baku
Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Ringkasan sikap sebagai berikut: 1.
Membekali diri dengan ilmu standar minimal untuk bisa dan mampu membedakan
antara fenomena perbedaan madzhab-madzhab fiqih dan keragaman
jamaah-jamaah dakwah yang ditolerir, dan antara fenomena perselisihan dan
perpecahan firqah-firqah sempalan dan sesat yang tertolak dan tidak ditolerir; 2.
Waspada dan hati-hati agar tidak sampai terpengaruh dan terjerumus ke dalam
penyimpangan dan kesesatan firqah sempalan; 3.Merujuk,
mengacu dan berpegang pada sikap, pendapat dan fatwa para ulama ahli yang
berkompeten, misalnya fatwa dan sikap resmi MUI; 4. Tidak
bingung, tidak terpengaruh dan tidak terbawa arus fenomena pro-kontra berbagai pihak yang tidak
berkompeten dalam menyikapi firqah-firqah sempalan; 5.
Meyakini kesesatan firqah-firqah sempalan dan menunjukkan sikap baraa'
(membenci dan menjauhi) secara ideologis
dan akidah; 6. Tapi di saat yang sama tidak
melakukan sikap dan tindak apapun yang bersifat anarkis terhadap firqah
sempalan manapun. Melainkan justru lebih menampakkan dan mengedepankan sikap
lahiriah yang berorientasi dakwah. Sebagaimana kita wajib memiliki sikap baraa'
secara akidah terhadap setiap orang kafir, namun di saat yang sama harus pula
lebih mengedepankan sikap lahiriah yang berorientasi dakwah terhadapnya; 7.
Lebih menfokuskan dan memprioritaskan upaya-upaya pembekalan dan pembentengan
ummat dengan akidah yang haq dan ilmu pemahaman agama yang murni, agar tidak
mudah terpengaruh pemahaman, pemikiran dan ideologi yang sesat atau menyimpang.
- Problem:
Problem berdakwah di tengah-tengah bi-ah (lingkungan) yang sangat
tidak islami dan sangat tidak kondusif. Dimana seringkali nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran yang didakwahkan oleh sang dai atau daiah dimentahkan
oleh pengaruh negatif bi-ah dimana obyek dakwah berada dan
tinggal.
Solusi: 1. Dakwah 'aammah (seperti
tabligh dan semacamnya) harus berorientasi mempengaruhi dan membentuk opini
umum masyarakat yang akan mengarah pada perbaikan bi-ah; 2.
Harus ada ta'awun (kerja sama) tertentu, atau setidaknya tafahum
(kesefahaman) tertentu di antara para dai dan daiyah ke arah terwujudnya tujuan
tersebut; 3. Dakwah harus berorientasi dan bersifat
tarbiyah dan pembinaan secara intensif dan komprehensif, dan tidak sekadar
temporal dan parsial saja; 4. Para dai dan daiyah harus
selalu berupaya untuk mengadakan atau memilihkan miniatur-miniatur bi-ah
yang "islami" atau kondusif bagi para mad'u (obyek dakwah); 5.
Materi-materi dakwah jangan hanya berisikan norma-norma idealistis
yang bersifat teoritis belaka, namun juga harus dilengkapi dengan arahan dan
pembekalan aspek aplikasi dan implementasinya di tengah-tengah bi-ah
yang tidak islami dan tidak kondusif seperti saat ini.
- Dan problem-problem dakwah internal lain yang tentu saja sangat banyak dan beragam sekali,
namun tentu tidak bisa disebutkan semuanya disini. Semoga beberapa yang
telah disebutkan di atas cukup sebagai contoh pengingat bagi
problem-problem yang lainnya, dan sekaligus penyemangat bagi pencarian
solusi-solusi yang benar untuknya. Wallahu a'lam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara
historis, komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak
kelahiran islam sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama
untuk menjelaskan praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara
trasendental, ada dua tipe utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan
dan manusia. Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur
bahasa yang dapat dipahami manusia. Kedua, bersifat nonverbal, yaitu
menggunakan tanda-tanda alam. Dalam hal inilah, komunikasi profetik diajukan
dalam kerangka baru praktik ilmu komunikasi Islam yang memadukan konsepnya
dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnyaKonsekuensi
komunikas profetik, yang pertama, tidak adanya bid’ah-bid’ah yang dilakukan
karena Nabi tidak pernah menyeru untuk melakukan hal tersebut. Kedua, adanya
sifat toleransi, menghargai dan berbicara dengan hati yang tulus. Ketiga:
berusaha untuk melakukan suatu kebenaran yang pernah dilakukan Nabi. Keempat:
menolak kejahatan dengan kebaikan.
Hambatan-hambatan dakwah dengan kedua macam dan sisinya
(internal dan eksternal) merupakan bagian dari cakupan dan tuntutan fiqih
dakwah yang sangat penting. Seperti seseorang yang akan atau sedang menempuh
sebuah perjalanan menuju suatu tujuan, dimana ia mesti mengenal dengan cermat
dan mengantisipasi dengan baik segala problem, persoalan, hambatan, tantangan
dan semacamnya yang mungkin terjadi, ditemui dan dihadapi dalam perjalanannya
itu. Karena jika tidak, maka perjalanannya akan terhambat atau bahkan terhadang
sama sekali sehingga ia tidak bisa sampai ke tujuan. Maka demikian pula dengan
seorang dai yang sedang menempuh perjalanan dakwah yang sangat panjang. Iapun
mesti mengenali, memahami dan menguasai secara memadai setiap problem,
permasalahan, hambatan, tantangan, dan semacamnya, yang mungkin terjadi dan
bisa menghambat, menghalangi dan menghadangnya di jalan dakwah.